-->

Subscribe Us

Merangkul Sekaligus Membanting, Itulah Jokowi




Jokowi bukan seorang militer yang tampaknya gagah seperti Prabowo atau mantan. Badannya pun kurus kerempeng dengan wajah 'kampungan'nya. Bukan hal aneh kalau banyak kalangan, yang mengutamakan looks daripada quality, memandangnya sebelah mata. Mereka meremehkan strategi seorang tukang meubel dari Solo itu. Makanya Fadli Zon - dengan gaya arogan bin sombongnya - menyebutnya planga plongo.

Tetapi semakin lama memimpin semakin kelihatan bahwa dia bukan pemimpin planga-plongoapalagi penakut. Buktinya dia berani membubarkan Petral, ketika banyak kalangan mengingatkan bahaya pembubaran Petral. Dia tidak mundur sekalipun. Akhirnya mafia migas itu sudah lenyap dan kasusnya sudah diserahkan ke KPK.


Yang lebih menghebohkan, pembubaran HTI. Dia tidak peduli seberapa bahaya efek politik atas keputusan itu. Sudah pasti dari jutaan anggota HTI akan menambah jumlah lawan Jokowi. Tidak sedikit pula yang mencoba mengingatkan si tukang kayu itu. Tetapi demi NKRI, efek politik tiada artinya. Membiarkan HTI, yang sudah ditolak di berbagai negara, berarti membiarkan Indonesia ini bubar. Anda mau Indonesia ini bubar? Jokowi tidak mau, sekalipun taruhannya lawan bertambah dan pemilih berkurang.

Dia juga bukan politikus garang dan vokal seperti Fahri Hamzah atau Fadli Zon. Pun bukan politikus dengan rekam jejak the invisible hand, yang tak kelihatan tapi terasa menentukan arah politik. Makanya banyak kalangan, biasanya pembencinya, menuduh dia boneka politik. Mereka sampai sekejam itu.

Tetapi coba perhatikan baik-baik. Ketika seluruh pemimpin institusi yang menjamin keamanan tidak mengizinkan Jokowi salat Jumat di Monas pada waktu aksi 212, bahkan JK sekalipun tidak memiliki keberanian, Presiden Jokowi memutuskan untuk menghadiri salat Jumat Bersama di Monas sepuluh menit sebelum dimulai.

Ketika menuntut Freeport menjual 51% sahamnya ke Indonesia, banyak kalangan yang khawatir akan ada distabilitas politik, ekonomi dan keamanan. Tetapi Jokowi tidak mundur. Dia lebih memilih meresufle Sudirman Said karena tidak ada perkembangan kasus. Dia tidak mau ditakut-takuti, tidak mau disetir oleh orang lain. Demi Indonesia, tidak ada yang mampu menghalanginya. Buktinya Freeport ketar-ketir, tidak berani membawa kasus itu ke pengadilan internasional, dan yang pada akhir-akhir ini sudah mulai melembek.

Bagi rakyat biasa - dengan pikiran polos bin tulusnya, Jokowi adalah seorang pemimpin yang suka bekerja keras ala tukang kayu. Dia dianggap pemimpin jujur dan tulus melayani rakyat baik melalui keberpihakan terhadap kaum miskin-melarat-terlantar-terlupakan, pembangunan infrastruktur yang merata di seantero Indonesia demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maupun kedekatannya dengan para ulama.

Bahkan dia semakin ‘menggila’ ketika partai oposisi nyinyir terhadap pembangunan infrastruktur, mengatakan pembangunan itu hanya buang-buang waktu. Karena bagi Jokowi, membangun infrastruktur bukan hanya soal ekonomi, melainkan demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Akhirnya setelah infrastruktur itu terselesaikan tepat waktu, oposisi tampak seperti orang goblok, bodoh dan dungu. Mereka hanya bisa melongo, tidak menyangka ‘si kurus’ itu sanggup ‘mencambuk’ menteri-menterinya bekerja keras demi mewujudkan keadilan sosial itu.

Dari penjelasan saya di atas, apa yang menarik? Bukan hanya soal hasil dari kebijakan dan keputusannya, melainkan terutama karena Jokowi memimpin secara arif bijaksana. Arif itu berarti tidak tampak menantang-nantang laiknya preman politik senayan. Tidak ada ancaman di sana. Justru ia merangkul siapa saja yang mau berkontribusi demi kejayaan Indonesia.

Dia rela merangkul Prabowo demi stabilitas politik, ekonomi dan keamanan. Secara tidak sadar sebenarnya Prabowo sudah masuk dalam perangkap mematikan, yaitu kegaduhan ini terjadi karena Prabowo berada pada posisi oposisi. Pada saat yang sama, Prabowo merasa bangga karena dianggap orang penting dan berpengaruh. Jokowi menghempaskan Prabowo dengan cara merangkulnya. Ini keren.


Rangkulan teranyar Jokowi adalah menjadikan Ngabalin sebagai juru bicara kepresidenan. Kenapa ini penting? Karena pada 2014 lalu, Ngabalin adalah juru bicara koalisi Prabowo. Maka dengan merangkul Ngabalin, Jokowi sedang menghantam lawan politiknya sampai terkapar terkencing-kencing di celana. Ngabalin lalu tampil dengan hujamanan mematikan persis di jantung pergerakan lawan politik.



Bijaksana itu berarti mengambil kebijakan secara profesional dan berkualitas sekalipun kebijakan itu tidak akan menyenangkan rakyat tetapi manfaatnya benar. Dia tidak peduli rakyat mengeluh atau bahagia. Yang penting, kebijakan itu berguna bagi rakyat dan sesuai dengan kebutuhan rakyat. Kalau mau membuat senang rakyat saja, maka subsidi BBM dan BLT adalah solusi paling ampuh. Tetapi bahayanya, rakyat menjadi bermental pengemis dengan selalu mengharapkan bantuan dari pemerintah dan merengek ketika tidak mendapatkannya.

Akibatnya, Fadli Zon mulai tidak tenang tidurnya, Fahri Hamzah diam seribu bahasa, serta lawan politik harus merekonstruksi kembali strategi politik mereka. Soal Ngabalin, masih permulaan. Babak selanjutnya, bukan tidak mungkin Prabowo mundur teratur dari panggung politik.

Masih mau menyebut Jokowi itu plonga-plongo?



0 Response to "Merangkul Sekaligus Membanting, Itulah Jokowi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel