Fatwa Kambing Berkerudung
“KORBAN tu ga wajib, yg wajib tu BERHIJAB.”
Itulah iklan Rabbani, salah satu produsen krudung paling islami di dunia akhirat. Iklan yang kini banyak diperbincangkan dan dibahas dari segala sisi. Ada juga yang hanya menertawkannya.
Bagi saya, iklan tersebut sesat. Karena arti wajib adalah harus dikerjakan. Jika tidak dikerjakan maka akan mendapat dosa. Masalahnya, berhijab adalah aturan dengan beragam perbedaan pendapat ulama terdahulu. Jadi mana bisa jadi aturan wajib?
Sementara kurban, bukan korban, hukumnya sunnah muakkadah. Tapi bisa menjadi wajib bila didasari dengan nadzar atau niat. Misal ada keluarga kita yang sakit, kemudian berniat kalau sembuh maka akan berkurban. Maka kurban menjadi wajib.
Dari sisi hukum syariah, iklan Rabbani itu jelas tidak bisa dibenarkan, alias sesat. Jadi untuk alasan apapun, apa yang dilakukan Rabbani adalah salah. Meski dari sisi strategi periklanan bisa dibilang sukses, tapi karena membawa embel-embel agama, jadi terlihat menghalalkan segala cara. Bahkan menyebarkan ajaran yang salah, memprovokasi, hanya demi keuntungan receh.
Masalahnya, bukan kali ini saja Rabbani muncul dengan iklan provokatifnya. Sebelum ini tukang jual krudung tersebut pernah memprovokasi Rina Nose, artis yang batal berkurudung. Rabbani menawarkan krudung gratis. Kemudian ada juga banner yang bertuliskan: anak jaman now, rok makin di atas, prestasi makin di bawah. Jangan sampe!
Bagi saya ini sudah keterlaluan. Teknik provokasi dalam iklan-iklan Rabbani sudah tidak bisa dianggap kelalaian. Semua itu murni kesengajaan dengan tujuan tertentu. Jika tujuannya hanya cari untung, ya kita maafkan. Tapi kalau dampaknya justru menciptakan kebencian antar sesama warga, pemerintah harus segera menertibkannya.
Selain pemerintah, para ulama dan ormas Islam seharusnya sudah bergerak melakukan penindakan. Karena apa yang dilakukan Rabbani tidak sesuai dengan ajaran Islam. Jangan beraninya cuma sama minoritas yang tak berdaya, dan di sisi lain membiarkan sahabat seimannya bebas menyebar propaganda dan provokasi.
Seharusnya, untuk kasus Rabbani ini jauh lebih penting dari ijtima ulama hasil Pilpres. Karena pilpres sudah selesai dan Prabowo sudah menerima kekalahannya. Jadi tak perlu lagi ijtima. Sementara kasus Rabbani ini seperti tak tersentuh hukum dan cukup meresahkan. Kenapa tak lakukan ijtima ulama penutupan usaha Rabbani?
Meski pada akhirnya kita harus juga mengakui, bahwa provokasi dengan beragam cara memang sudah biasa dilakukan oleh kelompok mayoritas. Lupakan dulu soal hukum dan keadilan. Negeri ini masih belajar. Gereja disweeping, ditolak pembangunannya. Rumah ibadah nonmuslim dibom. Anak bangsa tak diakui WNI karena keturunan tionghoa, dihalalkan untuk dibunuh, dan seterusnya.
Jadi melihat Rabbani muncul dengan iklan provokatif seperti itu, sekalipun kita tak setuju dan berontak, tapi di sisi lain juga harus menerima bahwa memang beginilah sebagian kelompok muslim di Indonesia. Semena-mena.
Tak perlu heran kalau hari ini kita melihat kambing berkerudung bisa berfatwa, toh sebelumnya ada banyak orang yang tak paham agama, hanya modal kerudung sudah dipanggil ustadzah. Ada banyak muallaf yang mendadak ustad hanya karena sering diundang cerita tentang perjalanannya memilih Islam.
Tukang kerudung model Rabbani pasti termotivasi untuk melakukan propaganda atau provokasi, karena tokoh-tokoh agama sebelumnya juga tak kalah provokatif. Kita bisa lihat Rizieq dan Tengku Zul, dua orang ulama yang tak pernah kehabisan kata-kata kebencian dan memancing keributan. Berkali-kali menyebar hoax juga.
Belum lagi tokoh-tokoh agama yang semena-mena menggunakan tempat ibadah sebagai arena kampanye. Sehingga kita sulit membedakan antara dakwah dan orasi.
Ya mau gimana lagi. Memang beginilah konsekuensi menjadi negara tanpa aturan dan kualifikasi yang jelas tentang ustad dan ulama. Cukup modal surban, peci atau gamis, pakai ke mana-mana, tampil di banyak kesempatan, sudah langsung otomatis menjadi ustad atau habib.
Melihat minimnya respon para ustad dan ulama yang biasanya secepat kilat menyambar, bahkan sering jadi korban hoax, nampaknya kita harus belajar pasrah. Karena saya sendiri bingung kalau ditanya apa yang harus dilakukan? Bingung dari mana harus memperbaikinya.
Maka daripada pusing-pusing memikirkan urusan ummat, saya pikir ada baiknya kita mulai menerima kambing sebagai panutan. Semoga ke depan bisa hadir di pengajian-pengajian menggantikan Neno Warisman.
Begitulah kura-kura.
0 Response to "Fatwa Kambing Berkerudung"
Post a Comment