-->

Subscribe Us

Drama "Kemiskinan" ala Kubu Prabowo





Dalam berbagai kesempatan, capres-cawapres 02 sering mengatakan bahwa kubunya tidak memiliki cukup uang untuk berlaga di pilpres 2019 ini. Pendukungnya yang juga bagian dari rakyat dan selalu diklaim sedang susah karena masalah ekonomi, tapi justru diminta berpartisipasi mengumpulkan dana guna mensukseskan kampanyenya.

Terjadi semacam paradoks disini. Prabowo sendiri memiliki harta berlimpah serta didukung oleh adiknya sebagai konglomerat. Apalagi Sandi dengan kekayaannya yang ditaksir berkisar 5 Triliun dan salah satu orang terkaya di Indonesia. Dan pilpres kali ini adalah ketiga kalinya yang diikuti oleh Prabowo. Artinya masalah dana sebenarnya sudah diperhitungkan dan tentu saja tersedia.


Untuk mengungkapkan bagaimana "menderitanya" dalam soal dana ini, kata paheli sering dimunculkan. Paheli dimaksud adalah kependekan dari paket hemat sekali. Hemat dalam hal memanfaatkan dana yang dimiliki se-efisien mungkin bahkan dikatakan menjadi penyebab minimnya APK (Alat Peraga Kampanye) yang dimiliki.

Namun fakta di lapangan bicara lain. Terlihat begitu marak baliho dan sejenisnya di banyak jalan yang ditemui diberbagai kota. Dalam perhelatan kampanye terbuka panggung-panggung besar terlihat megah menyambut kedatangan paslon 02. Mobilisasi massa dari berbagai daerah juga dilakukan. Walau semua itu diklaim atas inisiatif pendukung dan relawan.

Dramatisasi "kemiskinan" masalah dana yang dieksploitasi ke masyarakat ini tentunya memiliki tujuan. Untuk memberikan kesan pada publik bahwa majunya mereka di pilpres atas biaya sendiri tanpa sponsor dari pengusaha besar. Andai nantinya terpilih tidak akan tersandera dengan kepentingan para pengusaha dibelakangnya. Selain itu secara tidak langsung menuding lawan kontestan seakan banyak dibiayai oleh para taipan. Membangun persepsi publik bahwa petahana nantinya akan menjadi "sapi perah" donatur pendukungnya lewat proyek-proyek yang butuh campur tangan negara sebagai balas jasa.

Namun paslon 02 lupa bahwa keduanya adalah para pelaku bisnis itu sendiri. Termasuk lingkaran disekitarnya. Seperti Hashim adik Prabowo salah satu konglomerat yang namanya terdaftar sebagai orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes. Dan diakui sendiri adalah dalang dari terbentuknya Gerindra serta tentu saja sebagai otak dibelakangnya.

Selain perusahaan Prabowo sendiri memiliki beberapa masalah terkait keuangan terkait utang perusahaan PT. Kertas Nusantara (Kiani) dengan nilai tagih sebesar US$ 40 juta dan harus dicicil selama 20 tahun, rekam jejak adiknya juga tidak bersih-bersih amat. Namanya disebut dalam kasus BLBI dan bahkan sempat mendekam beberapa saat di Rutan Salemba. Terkait kasus BLBI, mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Sudrajat Djiwandono, kakak ipar Prabowo, juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pemberian dana kepada sekitar 52 bank.


Belum Sandi sendiri, selain namanya masuk dalam daftar di Panama Papers bersama Prabowo, beberapa kasus penipuan tanah pernah dikaitkan dengannya. Dalam rilis Paradise Papers kembali Prabowo juga disebut, termasuk sebagian dari keluarga Cendana seperti Tommy dan Mamiek.

Seperti diketahui pendirian perusahaan cangkang di luar negeri ini diduga berkaitan dengan upaya menghindari sistem hukum di Indonesia terutama terkait pajak. Tak tertutup kemungkinan juga data Panama Papers dan Paradise Papers bisa menyangkut tindak pidana korupsi serta pencucian uang di masa lalu. Sepanjang belum kadaluwarsa, aparat penegak hukum seharusnya tetap dapat melakukan penyelidikan.

Tidak dapat dipungkiri, pilpres membutuhkan dana yang sangat banyak. Disinilah sebenarnya terjadi "perang" antar pengusaha. Tapi tidak sedikit juga yang bermain dua kaki. Menyokong kedua kandidat untuk mengamankan kepentingannya. Masyarakat harus cerdas dan bisa memilah rekam jejak masing-masing konstestan serta orang-orang dibelakangnya. Apakah nama-nama mereka bersih dari kasus-kasus pelanggaran dan sengketa hukum. Jangan sampai terbuai kata-kata mengatasnamakan keberpihakan pada rakyat kecil tapi sebenarnya malah lebih rakus dan mengedepankan kepentingan pribadi, keluarga atau kelompoknya saja.

Walaupun Jokowi dulunya juga adalah pengusaha, tapi bisa dibilang kelasnya ecek-ecek. Usaha mebel yang tidak ada kaitannya dengan proyek negara atau perusahaan besar yang butuh katebelece penguasa. Tapi sebatas usaha rumahan yang bisa dibilang cukup sukses dan tidak punya utang perusahaan. Apalagi Ma`ruf Amin yang dikenal sebagai ulama dan tidak ada catatan memiliki usaha selain mengelola pesantren.

Di era kepemimpinan Jokowi yang transparan, publik pun juga bisa mengawasi dan mengetahui bila ada kongkalikong dengan pengusaha yang diduga adalah sponsor dibelakangnya. Tudingan Jokowi dijadikan "sapi perah" oleh mereka tidak terbukti. Keluarganyapun tidak ada sama sekali memanfaatkan kekuasaan untuk mendapatkan fasilitas dan kemudahan dalam berbisnis.

Inilah salah satu pembeda antar dua kontestan di pilpres 2019 dari sisi rekam jejak sebagai pengusaha. Selain itu, Jokowi yang dikenal sebagai mantan pengusaha mebel bisa dipastikan gemar memproduksi meja. Tapi yang satunya malah suka menggebrak meja. Gambaran mana yang suka membangun dan mana yang lebih senang merusak....



#JokowiLagi



0 Response to " Drama "Kemiskinan" ala Kubu Prabowo"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel