-->

Subscribe Us

Merasa Paling Islami, Sopir Taxi Pembenci Jokowi pun Ceramahi Kyai #MendadakSantri





Politik identitas mau diakui atau tidak sangat kental terasa semenjak pipres 2014 yang lalu. Apapun alasannya politik identitas yang kental dengan SARA memiliki potensi memecah belah, karena di dunia ini sifatnya majemuk. Kemajemukan sendiri ada yang memang berawal dari takdir yang gak bisa dilawan, ada juga yang bersifat pilihan sebagai implimentasi kebebasan berfikir setiap manusia.

Kemajemukan yang berdasarkan pada takdir misalnya, orang yang dilahirkan tak pernah bisa memilih ingin lahir di rahim orang tua bersuku dan beragama apa nanti di dunia. Itu adalah kemajemukan karena sebuah takdir yang tak bisa kita pilih sebelumnya.


Sedangkan kemajemukan berdasarkan kebebasan dalam memilih yaitu terkait memeluk keyakinan agama tertentu, atau bahkan kebebasan berfikir dan tak ingin memeluk sebuah agama apapun, itu pun kemajemukan dalam dunia yang timbul karena sebuah kebebasan berfikir dan menentukan pilihan dalam hidup.

Meskipun politik identitas akan berpotensi membuat perpecahan di tengah kemajemukan, tetapi pada faktanya saat ini ada yang menjual identitas agama untuk berpolitik. Ceramah agama di Masjid diselipi dengan politik dukungan, dan berkumpul atas nama agama padahal ditunggangi kepentingan politik, bahkan tak jarang ceramah agama di isi dengan mencaci pemerintahan Jokowi.

Sudah menjadi rahasia umum, kubu lawan politik Jokowi menganggap diri sebagai kumpulan orang yang paling Islami. Bahkan Jokowi dituduh sebagai rezim yang benci Islam dan kerap melakukan kriminalisasi terhadap ulama.

Menggunakan sentimen agama dalam berpolitik akan menimbulkan image atau pandangan politisi tersebut sebagai orang yang suci, orang yang memiliki kunci kebenaran dan surga yang harus dibela mati-matian.

Program dan kemampuan untuk mengurus negara dan orang banyak tak lagi dipikirkan jika sentimen agama sudah mengakar dalam politik. Orang akan hanya berpekik takbir atau bersorak haleluya untuk dapat dielu-elukan, tak perlu memberikan gagasan dan pandangan program.

Bisa dibayangkan toh bagaimana dahsyatnya efek sentimen agama jika dicampur adukan dalam politik? Kalau agama dimaknai dalam berpolitik, itulah yang bagus, karena dalam agama itu mengajarkan kebaikan secara universal, membawa berkah bagi sesama bukan membawa kerusakan tatanan kehidupan karena menganggap kelompok lain hina bagai bukan manusia.


Politik identitas membuat orang gak pernah ngaji pun bisa merasa paling islami

Saya belum lama ini mendengar ada teman yang menceritakan ada kejadian yang lucu terjadi terkait fanatisme pilihan politik yang dikaitkan dengan identitas agama. Atau bisa dikatakan, dampak dari politik identitas agama yang saat ini sedang semerbak di negara kita.

Teman saya mengatakan bahwa seorang Kyai yang pernah menjabat di MUI sebagai Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI, yang juga merupakan dosen Fakultas Syariah , sekaligus Rais Syuriyah PBNU yang sangat muda, ketika di bandara diceramahi mengenai agama oleh supir taxi yang begitu membenci Jokowi. Cerita tersebut pun ternyata di tulis di FB yang bersangkutan secara singkat.

Saat itu, Kyai yang mempunyai nama lengkap Ahmad Ishomuddin atau kerap disapa Gus Ishom tersebut sepanjang jalan tol dari Bandara diceramahi mengenai agama. Kalau lihat profil dari Gus Ishom, kita gak perlu lagi mempertanyakan tentang ilmu agama yang beliau sudah pelajari. Jika dibandingkan dengan si supir taxi, saya rasa Gus Ishom lebih banyak mengkaji ilmu agama, tetapi di sini yang merasa paling Islami justru si supir taxi.

Kejadian di atas adalah efek dari politik identitas yang berujung pada penilaian keimanan serta ilmu agama hanya sebatas pilihan politik. Membela tokoh politik dianggap sebagai membela Tuhan dan agamanya, meskipun tanpa disadari. Orang akan merasa paling benar dan yang lainnya hina dan gak beriman. Fenomena seperti inilah yang sedang terjadi di Indonesia.

Meskipun terkadang tokoh politik yang dibela itu gak berani pimpin salat, sering dipertanyakan Jumatan dimana, dan gak berani dites ngaji, tetapi berkat politik identitas, itu tak masalah dan tetap saja akan dianggap dengan membela tokoh politik tersebut sama saja membela agama dan berjalan di jalan Tuhan. Kita bisa bayangkan, apalagi kalau tokoh politik tersebut ngerti ilmu agama sedikit saja? Maka sudah jelas bumbu politik identias semakin meresap sempurna. Dari sini kita akan berfikir, mengapa pertarungan politik di Timur tengah dapat berdampak dengan perang saudara yang berkepanjangan? Karena kebanyakan politik disana dibumbui oleh tafsir agama yang mengklaim diri paling benar meskipun agamanya sama, itulah kemungkinan besarnya. Udah ah, itu aja…



Cak Anton



0 Response to "Merasa Paling Islami, Sopir Taxi Pembenci Jokowi pun Ceramahi Kyai #MendadakSantri"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel